Asal Tokoh Ra Kartini

Asal Tokoh Ra Kartini

G. Nama Jalan RA Kartini di Belanda

Tak dipungkiri R.A Kartini dan semangatnya menginspirasi tidak hanya warga negara Indonesia tapi juga pemerintah Belanda. Kekaguman pemerintah Belanda pada pemikiran Kartini membuat nama Kartini diabadikan sebagai nama jalan di sana. Kota- kota di Belanda yang bernama Kartini adalah:

Jalan Kartini di kota ini berada di perumahan kalangan masyarakat menengah. Ukuran jalan Kartini lebih besar dari jalan dengan nama tokoh lain.

Di Venlo, jalan RA Kartinistraat berbentuk O di kawasan Hagerhof. Nama- nama jalan di daerah itu memang identik dengan tokoh wanita, seperti Anne Frank dan Mathilde Wibaut.

Di Amsterdam wilayah Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan Bijlmer merupakan daerah yang memiliki Jalan Raden Adjeng Kartini.

Wanita dari seluruh dunia yang memiliki pengaruh dalam sejarah, seperti Rosa Luxemburg, Nilda Pinto, dan Isabella Richaards memang dijadikan juga nama-nama jalan disitu.

Jalan RA Kartini di Haarlem berada dekat dengan Jalan Mohammad Hatta, Jl Sutan Sjahrir

Foto- foto R.A Kartini cukup banyak yang bisa dinikmati. Sebagai keluarga bangsawan sepertinya mengabadikan dalam bentuk foto biasa dilakukan.

Berikut beberapa foto Kartini

Source : en.wikipedia.org

Cerita Kartini sudah dibuat dalam versi layar lebar. Tercatat film surat untuk Kartini telah dibuat dimana Kartini diperankan oleh Rania Putri Sari di tahun 2016. Film Surat untuk Kartini mengisahkan seorang duda bernama Sawardi yang berprofesi sebagai tukang pos jatuh cinta pada Kartini.

Kartini adalah seorang wanita cerdas yang berani melabrak tradisi. Dia tak mau nasibnya seperti para wanita di masa itu. Sayang cinta Sawardi tak sampai Karena Kartini dinikahi oleh Bupati Rembang .

Kemudian di tahun 2017, Dian Sastro juga berhasil memerankan Kartini dengan apik lewat film berjudul Kartini. Hanung sang sutradara kawakan membuat film ini menjadi luar biasa. Kita dibawa ke masa itu hingga merasakan seperti apa perjuangan Kartini.

Rekomendasi Buku & Artikel

Upaya Kartini Melanjutkan Pendidikan

Kartini pernah berupaya mencari beasiswa dengan mengirim surat pada sahabatnya Nyonya Ovink Soer. Peluang mendapatkan pendidikan sedikit terbuka saat pemerintah Belanda mengumumkan politik kolonial baru pada September 1901.

Kelak Ratu Wilhelmina dalam sidang parlemen memproklamasikan politik etis yang mengharuskan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat jajahan di Hindia Belanda. Gagasan emansipasi dan cita-cita Kartini untuk maju dengan pendidikan mulai jadi perhatian pemerintah Hindia Belanda.

Pada 8 Agustus, Direktur Departemen Pendidikan, Kerajinan, dan Agama J.H. Abendanon mengunjungi Jepara. Ia menyampaikan, ada rencana pendirian sekolah asrama atau kostchool untuk gadis bangsawan. Kartini mendukung rencana ini dengan harapan perempuan menyadari hak mereka selama ini terampas.

Abendanon terkesan dengan penjelasan Kartini yang menyarankan pembukaan pendidikan kejuruan agar perempuan terampil dan mandiri, tidak bergantung kepada laki-laki. Tetapi, sebagian besar bupati menolak surat edaran Abendanon tentang kostschool dengan alasan aturan adat bangsawan tidak mengizinkan anak perempuan dididik di luar.

Kelak saat diundang ke Batavia oleh Abendanon, Kartini ditawari Direktur HBS Batavia Nona Van Loon untuk melanjutkan studi di sekolahnya. Saat itu, ayah Kartini juga mengizinkannya untuk melanjutkan studi menjadi guru.

Kendati pendirian kotschol terhambat, keinginan Kartini atas pendidikan demi menyamakan derajat laki-laki dan perempuan sampai di telinga anggota parlemen Belanda, Van Kol. Ia lalu menawari Kartini untuk sekolah di Belanda bersama adiknya Roekmini dengan biaya pemerintah.

Tetapi atas bujukan dan tekanan orang bumiputra dan keluarga Abendanon, ia urung ke Belanda.

Masa Remaja RA Kartini

Beruntungnya Kartini memiliki Pangeran Ario Tjondro IV, bupati pertama Jepara yang merupakan kakeknya. Kakeknya ini ternyata sudah terbiasa memberikan pendidikan barat kepada anak-anaknya, sehingga cara pengajaran jauh dari kesan konservatif.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara (saudara kandung dan saudara tiri) ,namun Kartini merupakan anak perempuan tertua dari semua saudara sekandungnya.Karena pemikiran kakeknya yang sudah terbuka itu, maka Kartini memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah di ELS (Europese Lagere School) saat usianya 12 tahun.

Menimba ilmu di sekolah ini membuat beliau belajar Bahasa Belanda. Kecerdasan Kartini semakin terasah di dunia sekolah. Sayangnya keinginannya untuk sekolah tak bisa lama. Di usia 15 tahun Kartini harus menghentikan langkahnya ke sekolah.

RA Kartini harus tinggal di rumah karena sudah dipingit seperti wanita lain di masa itu. Kartini pun tak punya pilihan. Hal ini tentu membuatnya gundah gulana. Untunglah dia memiliki sahabat di negeri Belanda bernama Rosa Abendanon yang bisa diajak bertukar pikiran selama dipingit.

Pertukaran pikirannya dilakukan lewat surat menyurat. Kefasihannya dalam berbahasa Belanda memudahkan komunikasi 2 sahabat beda negara ini. Sebagai wanita cerdas, Kartini pun mempelajari juga pola pikir wanita Eropa. Surat kabar ,majalah bahkan buku dilalap habis.

Dari apa yang dibacanya,Kartini tahu bahwa kehidupan wanita Eropa,dengan wanita Indonesia sungguh berbeda di kala itu. Di Indonesia, wanita memiliki status yang rendah. Wanita Indonesia tak pernah mendapatkan persamaan, kebebasan, dan otonomi serta kesetaraan hukum.

Kondisi itu membuat miris hati Kartini. Keinginan untuk memajukan nasib wanita pun tumbuh di hatinya. Kartini merasa tergugah dan bertekad untuk merubah nasib kaumnya. Tekadnya semakin lama semakin kuat yang juga diceritakan pada buku Raden Ajeng Kartini yang bisa kamu dapatkan di Gramedia!

Lahirnya R.A Kartini

Biografi singkat R.A Kartini diawali dari sejak kelahirannya. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Beliau masih merupakan keluarga bangsawan Jawa. Itulah sebabnya gelar Raden Adjeng alias R.A disematkan padanya.

Sesuai dengan adat jawa yang masih melekat, gelar bangsawan ini kemudian diganti menjadi Raden Ayu saat beliau menikah. Ayah Kartini bernama Raden Adipati Ario Sosroningrat putra dari Pangeran Ario Tjondro IV. Ibunda Kartini bernama M.A Ngasirah. Beliau sebenarnya istri pertama namun sayang, status itu tak membuatnya bisa menjadi istri utama.

M.A Ngasirah hanyalah gadis sederhana yang terlahir sebagai rakyat jelata . Beliau merupakan putri seorang kyai di Teluk Awur. Raden Adipati Ario Sosroningrat terlanjur jatuh hati padanya. Meskipun berbeda kasta, namun memang cinta tak bisa memilih.

Statusnya yang bukan berasal dari keluarga bangsawan melabrak aturan kolonial Belanda. Aturan yang diterapkan Belanda mengharuskan seorang bupati harus memilih keluarga bangsawan juga sebagai pasangannya saat menikah.

Hal ini tentu menyulitkan Ario untuk mengambil tampuk pimpinan sebagai bupati Jepara dengan istri pertamanya itu. Ario memutar otak agar posisi bupati tetap bisa dijabat tanpa harus melepas istri pertamanya.

Agar tetap bisa memenuhi aturan kolonial itu, Ayah Kartini juga menikahi Raden Adjeng Woerjan yang masih memiliki darah biru kerajaan Madura. Akhirnya Ayah Kartini bisa mengambil jatahnya untuk menjadi bupati setelah mematuhi aturan Belanda.

Tak lama dari pernikahan keduanya, Ario diangkat jadi Bupati jepara bersamaan dengan lahir putri kecilnya , Kartini. Ario mendapat 2 kebahagiaan sekaligus, yaitu jabatan dan keturunan. Cerita lengkap kehidupan dari RA Kartini juga bisa ditemukan pada buku Seri Pahlawan Nasional: R.A. Kartini.

Kartini lahir pada 21 April 1879 di Mayong, sebuah kota kecil yang masuk dalam wilayah Karesidenan Jepara. Pejuang emansipasi wanita ini lahir dalam lingkungan keluarga priyayi dan bangsawan, karena itu ia berhak menambahkan gelar Raden Ajeng (RA) di depan namanya.

Kartini lahir dari pasangan Raden Mas (RM) Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah. Ayahnya, RM Sosroningrat, merupakan anak dari Pangeran Ario (PA) Tjondronegoro IV. Dilihat dari silsilah keluarga, masih keturunan dari Prabu Brawijaya Raja Majapahit terakhir.

Sementara sang Ibu, Mas Ajeng Ngasirah merupakan anak dari pasangan Kyai Haji Modirono dan Nyai Haji Siti Aminah. Mas Ajeng Ngasirah merupakan perempuan desa yang memiliki kedudukan terhormat di tengah masyarakat karena bapaknya merupakan ulama di Desa Teluk Awur, Jepara.

Ayah dan Ibu Kartini menikah pada tahun 1872. Namun, sang Ayah menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan atau Moerjam, puteri Bupati Jepara pada 1875.

Meskipun Ibu dari RA Kartini merupakan istri pertama, namun bukanlah istri utama. Kedudukan Raden Ajeng Woerjan sebagai keluarga bangsawan menjadikannya sebagai isteri utama RM Sosroningrat yang disebut dengan garwa padmi atau raden ayu. Tugasnya mendampingi suami pada saat upacara-upacara resmi.

Kartini merupakan anak ke 5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Namun ia merupakan anak perempuan tertua dari semua saudara sekandungnya.[1]

Setelah dewasa, Kartini dipersunting oleh Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat pada 8 November 1903. RA Kartini tutup usia pada 17 September 1903. RA Kartini wafat di usia yang masih sangat muda, 25 tahun.

Sosok Kartini lahir dengan kondisi yang sehat. Ia memiliki rambut hitam dan tebal. Matanya bundar, seperti bayi Jawa pada umumnya.

Pertumbuhan fisik dan motorik Kartini berjalan lebih cepat dibanding anak-anak lain seusianya. Di usia 8 bulan, Kartini sudah mampu untuk berjalan sendiri.

Tak hanya pertumbuhan fisik, tingkat kecerdasan dalam berpikir Kartini juga berkembang pesat. Hal ini ditunjukan dengan sifat selalu ingin tahu. Kartini kecil pun dikenal sebagai anak lincah yang sangat aktif bergerak.

RA Kartini bersama dua saudaranya, RA Roekmini dan RA Kardinah dibesarkan dalam lingkungan kabupaten yang serba berkecukupan. Karena itu mereka tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.

Pada 1885 Kartini dimasukan ke sekolah dasar Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Padahal, kala itu kaum bangsawan melarang keras puteri-puterinya keluar rumah, apalagi datang ke sekolah setiap hari belajar bersama anak laki-laki.

ELS sendiri merupakan sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak Bangsa Eropa dan Belanda Indo. Anak pribumi yang diizinkan mengikuti pendidikan di sekolah tersebut hanyalah anak dari pejabat tinggi pemerintah.

Kartini cukup populer di sekolahnya. Hal ini lantaran sifatnya yang luwes, periang, dan pandai.

Bahkan keberadaan Kartini di ELS cukup menarik perhatian banyak orang Eropa. Pasalnya ia menjadi siswa pribumi yang mampu berbahasa Belanda dengan baik.

Kemampuan tersebut tentunya tidak didapat secara instan. Kartini latihan bahasa Belanda dengan cara rajin membaca buku dan koran berbahasa Belanda, serta mempraktekkan bahasa Belanda pada saat bermain dan menemui tamu-tamu bangsa Belanda yang datang di kabupaten.

Tak hanya itu, hari-hari Kartini juga dipenuhi dengan belajar membaca Al-Qur’an, belajar bahasa Jawa, berlatih menyulam dan menjahit. Orang tua Kartini berusaha memberikan pendidikan yang seimbang antara otak dan akhlak, sehingga dihasilkan anak-anak berkualitas yang berwatak baik dan berperikemanusiaan.

Awal 1892 Kartini dinyatakan lulus dari ELS dengan nilai yang cukup baik. Ia pun sangat berharap sang ayah yang berpikiran maju akan mengizinkannya untuk melanjutkan pendidikan di HBS Semarang. Kartini berlutut di hadapan Bupati RM Sosroningrat untuk memperoleh izin. Sayangnya, jawaban “Tidak” yang cukup tegas harus diterima Kartini.

Jawaban menyakitkan dan mengecewakan itu menjadi awal mula “penjara” dan “perjuangan” Kartini.[1]

Kartini menjalani pengitan dengan berdiam diri di rumah. Ia dipaksa belajar menjadi puteri bangsawan sejati yang selalu diam seperti boneka. Dibiasakan untuk berbicara dengan suara halus dan lirih, serta masih banyak lagi aturan-aturan adat yang harus dipatuhi olehnya.[1]

Meskipun berada di rumah, RA Kartini aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda. Sebab, ia juga fasih dalam berbahasa Belanda. Dari sinilah Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa, hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi.

Hal ini lantaran dalam pikirannya, kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.

Di usianya yang ke 20, Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan Eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa Belanda. Adapun buku-buku yang menjadi bacaannya adalah buku karya Louis Couperus yang berjudul De Stille Kracht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa Belanda. Selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.

Ketertarikannya membaca kemudian membuat ia memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Khususnya, yang menjadi perhatian Kartini adalah masalah emansipasi wanita, dengan melihat perbandingan antara wanita Eropa dan wanita pribumi kala itu.

Selain itu, Kartini juga menaruh perhatian pada masalah sosial. Di mana menurutnya wanita perlu memperoleh persamaan kebebasan, otonomi, serta kesetaraan hukum.

Pikiran-pikiran dan keluhan atas kondisi wanita pribumi ini disampaikan Kartini kepada teman wanita Belanda nya yakni Rosa Abendanon dan Estelle “Stella” Zeehandelaar. Kedua temannya tersebut juga mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan Kartini.[2]

Pertengahan Juli 1903 datang utusan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat membawa surat lamaran untuk Kartini. Bupati Sosroningrat sangat bahagia menerima surat lamaran tersebut karena ada bangsawan dengan kedudukan tinggi melamar Kartini. Kendati demikian, Bupati Sosroningrat tetap menyerahkan keputusannya kepada anaknya.

Bupati Sosroningrat pun dengan hati-hati menyampaikan surat lamaran tersebut agar jangan sampai menyinggung perasaan sang anak. Kartini diberikan waktu untuk berpikir secara jernih, apakah mau menerima atau menolak lamaran tersebut.

Sembari memberi waktu pada Kartini untuk membuat keputusan, Bupati Sosroningrat menyampaikan sejumlah pertimbangan-pertimbangan kepada Kartini. Salah satunya, diungkapkan bahwa calon suaminya tersebut adalah bupati yang sudah berpikiran maju.

Kartini mohon izin kepada ayahnya diberikan waktu 3 hari untuk memikirkan jawaban dari surat lamaran tersebut. Kartini lantas mulai berpikir menghitung keuntungan dan kerugian jika menerima atau menolak lamaran tersebut.

Ia ingin memenuhi keinginan untuk membahagiakan orang tua dan membahagiakan dirinya. Dua hal tersebut menjadi alat untuk menimbang keputusan yang akan diambilnya. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, ia pun memutuskan menerima lamaran Raden Adipati Djojo Adiningrat dengan sejumlah syarat. Adapun syarat tersebut yakni:

Syarat tersebut pun disetujui. Pernikahan Kartini semula direncanakan pada 12 November 1903, namun atas permintaan Bupati Rembang dimajukan menjadi 8 November 1903.

Pernikahan tersebut dilaksanakan di Jepara dengan cara yang sederhana dan dihadiri oleh saudara-saudara dekat kedua mempelai.

Pernikahan tersebut dilaksanakan dengan mencerminkan pemikiran kesetaraan dari Kartini. Pasalnya dalam prosesi pernikahannya, tidak disertai upacara mencium kaki mempelai laki-laki oleh mempelai perempuan sesuai dengan permintaan Kartini.

Selain itu, mempelai laki-laki mengenakan pakaian dinas, sementara Kartini memakai pakaian seperti keseharian biasa.

Tiga hari setelah pernikahan, Kartini pindah ke Rebang. Ia menjalani aktivitas sebagai istri dan menjalankan sebuah sekolah wanita yang didirikannya.

Namun, kondisi fisik Kartini mulai menurun saat mengandung anak pertamanya. Tanggal 7 September 1903 Kartini sempat menulis surat kepada Nyonya Abendanon yang sudah mengirimkan hadiah untuk bayinya nanti.

Kartini menceritakan kondisi kehamilannya, yang menurutnya tidak akan lama segera lahir seorang anak darinya.[1]

Tanggal 13 September 1903 Kartini melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat bernama Soesalit Djojoadhiningrat.[2] Setelah melahirkan kondisi Kartini nampak sehat dan berseri-seri, karena itu dokter yang membantu persalinan kembali ke kotanya.

Tanpa sebab yang jelas kondisi tubuh Kartini melemah, dokter tidak bisa mengembalikan kesehatan tubuhnya. Pada 17 September 1903 akhirnya Kartini wafat dalam usia yang masih sangat muda 25 tahun.[1]

Setelah Kartini wafat, Mr. JH Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan RA Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.

Buku itu diberi judul ‘Door Duisternis tot Licht’ yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”.

Buku kumpulan surat Kartini ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1911. Kemudian dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi ‘Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran’, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara.

Kemudian tahun 1938, keluarlah ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali.

Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain WR Soepratman yang menciptakan lagu berjudul ‘Ibu Kita Kartini’.[3]

Tokoh pahlawan nasional ini sangat  terkenal di Indonesia sebagai pahlawan yang gigih memperjuangkan emansipasi wanita. Dialah Raden Ajeng Kartini atau dikenal sebagai R.A. Kartini.

Lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879, R.A. Kartini dikenal sebagai wanita yang mempelopori kesetaraan derajat antara wanita dan pria di Indonesia. Kartini merasa banyak diskriminasi yang terjadi antara pria dan wanita pada masa itu dimana beberapa perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan.

Raden Adjeng Kartini Djojo Adhiningrat adalah nama lengkap beliau. Dilahirkan ditengah keluarga bangsawan dari seorang ayah yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai Bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, bukan berasal dari keturunan bangsawan melainkan hanya rakyat biasa, anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Jepara.

Silsilah keluarga Kartini dari garis keturunan ayahnya merupakan keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono VI bahkan jika ditelusuri ke atas merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit.

Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang Wedana (sekarang Pembantu Bupati) di Mayong. Oleh karena peraturan kolonial Belanda ketika itu yang mengharuskan seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan juga, hingga akhirnya ayah Kartini mempersunting seorang wanita bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan seorang bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah kartini diangkat menjadi Bupati di Jepara menggantikan ayah dari R.A. Woerjan, yaitu Titrowikromo.

Sebagai seorang bangsawan, R.A. Kartini berhak memperoleh pendidikan. Ayahnya kemudian menyekolahkan Kartini di ELS (Europese Lagere School). Disini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Disebabkan kebiasaan ketika itu,  anak perempuan harus tinggal di rumah untuk ‘dipingit’, maka Kartini hanya bersekolah hingga usia 12 tahun.

Disinilah sejarah perjuangan R.A. Kartini bermula. Selama tinggal di rumah, Kartini belajar sendiri dan mulai menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari Abendanon, Kartini mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang  kemajuan berpikir perampuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu berada pada status sosial yang amat rendah.

R.A. Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalan kebudayaan Eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa Belanda. Bahkan di usinya yang ke-20, Kartini banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa Belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.

Kartini juga mulai banyak membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di bawah asuhan Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan majalah yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya terdapat majalah-majalah tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kartini kecil sering juga mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie. Melalui surat-surat yang ia kirimkan, terlihat jelas bahwa Kartini selalu membaca segala hal dengan penuh perhatian sambil terkadang membuat catatan kecil, dan tak jarang juga dalam suratnya Kartini menyebut judul sebuah karangan atau hanya mengutip kalimat-kalimat yang pernah ia baca.

Buku-buku bertulisan belanda tersebut membuat beliau makin terbuka pikirannya dan semakin maju. Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahun dan kebudayaan. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga amsalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

Pada tanggal 12 November 1903, oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang telah memiliki tiga istri. Suaminya sangat mengerti citi-cita Kartini dan memperbolehkan Kartini unuk membangun sebuah sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rmbang, di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Dalam pernikahannya, Kartini hanya memiliki seorang anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini menghembuskan napas terakhirnya pada usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihan R.A. Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912 dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh politik Etis.

Surat-surat yang Kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi dimana ia melihat contoh kebudayaan Jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari pribumi ketika itu. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju.

Cita-cita luhur R.A. Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi oleh Kartini, dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang makna ketuhanan, kebijaksanaan dan keindahan (Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid), perikemanusiaan (humanitarianisme), dan juga cinta tanah air (nasionalisme).

Surat-surat Kartini juga berisi harpannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebeas duduk di bangku sekolah, harus dipinggit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kaih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjai guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. “…Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin…” Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.

Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.

Wafatnya R.A. Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuang R.A. Kartini semasa hidupnya karena salah satu temannya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Abendon kemudian membukukan seluruh surat itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku ini diterbitkan pada tahun 1911 dan cetakan terakhir ditambahkan surat “baru” dari Kartini.

Pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya tidak pernah bisa dibaca oleh beberapa orang pribumi yang tidak dapat berbahasa Belanda. Baru pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi translasi buku dari Abendanon yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran” dengan bahasa Melayu. Pada tahun 1938, salah satu sastrawan bernama Armijn Pane yang masuk dalam golongan Pujangga Baru menerbitkan versi translasinya sendiri dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Versi milik Pane membagi buku ini dalam lima bab untuk menunjukkan cara berpikir Kartini yang terus berubah. Beberapa translasi dalam bahasa lain juga mulai muncul, dan semua ini dilakukan agar tidak ada yang melupakan sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya itu.

Pemikirannya banyak mengubah pola pikir masyarakat Belanda terhadap wanita pribumi ketika itu. Tulisan-tulisannya juga menjadi inspirasi bagi para tokoh-tokoh Indonesia kala itu seperti W.R. Soepratman yang kemudian membuat lagu yang berjudul ‘Ibu Kita Kartini’.

Presiden Soekarno sendiri kala itu mengeluarkan instruksi berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964, yang berisi penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini, 21 April, diperingati sebagai Hari Kartini sampai sekarang. (@nunovia)

Demikian, semoga bermanfaat……..

Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April. Hari besar nasional ini kerap menjadi momentum bagi siswa di sekolah maupun lingkungan rumah untuk mengenal kembali sejarah singkat dan perjuangan RA Kartini.

Raden Ajeng (R.A.) Kartini dikenal dengan surat-surat kirimannya tentang emansipasi perempuan dan semangat maju dengan pendidikan. Berikut kisahnya.

B. Surat-surat Yang dibuat R.A. Kartini

Tak disangka surat-surat Kartini pada sahabat-sahabatnya di Belanda berhasil dikumpulkan oleh Jacques Henrij (J.H) Abendanon . J.H Abendanon merupakan suami salah satu sahabat penanya Kartini, Rosa Abendanon. Merekalah yang biasa dikirim surat oleh Kartini. Pada merekalah Kartini biasa menyampaikan tulisannya.

Melalui korespondensi atau surat-menyurat yang dilakukan Kartini dengan sahabat penanya di Negeri Belanda, ia mengabarkan ihwal ketimpangan dan ketidaksetaraan kondisi pendidikan perempuan di Indonesia dan hal ini dibahas di dalam buku Kartini Guru Emansipasi Perempuan Nusantara.

Sekitar 115 surat yang terkumpul. Surat- surat itu adalah curahan hati Kartini kepada para sahabatnya, antara lain: 1. Estelle H Zeehandelaar atau Stella (14 surat ) 2. Ny Ovink-Soer (8 surat) 3.Prof dr GK Anton di Jena dan istrinya (3 surat ) 4. Dr N Andriani (4 surat ) 5. Ny HG de Booy-Boissevain (5 surat ) 6. Ir HH van Kol (3 surat ) 7. Ny N van Kol (3 surat ) 8. Ny RM Abendanon-Mandri (49 surat) 9. Mr JH Abendanon (5 surat ) 10.EC Abendanon (6 surat ) 11. Suami-istri Abendanon (gabungan surat) 12. Satu surat belum bisa disimpulkan penerimanya

Sejarah Singkat RA Kartini

Kartini lahir pada 21 April 1879 atau 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1808 di Mayong afdeling Japara (kini Jepara). RA Kartini berasal dari keluarga priyayi atau bangsawan Jawa di Jepara. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah bupati di sana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

RA Kartini masuk sekolah dasar eropa atau Europesche Lagere School (ELS) pada 1885. Anak pribumi yang diizinkan mengikuti pendidikan bersama anak-anak bangsa Eropa dan Belanda-Indo di ELS hanya anak pejabat tinggi pemerintah.

Meskipun dari kalangan bangsawan, anak perempuan masuk sekolah dan keluar rumah merupakan langkah yang bertentangan dengan tradisi saat itu, seperti dikutip dari Pendidikan Feminis R.A. Kartini oleh Irma Nailul Muna.

Sekolah di ELS, Kartini belajar dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Kemampuan bahasanya makin kuat karena rajin membaca buku dan koran berbahasa Belanda. Kartini juga belajar bercakap dengan bahasa Belanda sambil bermain dan menerima tamu bangsa Belanda yang datang ke Jepara.

Siswa pribumi di ELS sering mendapatkan perlakuan diskriminatif seperti pandangan rendah dari sesama siswa dan guru dari Belanda. Perlakuan tersebut memacu semangatnya terus berprestasi agar bisa mengalahkan siswa lain.

Meskipun mendapat perlakuan diskriminatif dari siswa dan guru dari Belanda, Kartini justru semangat memperoleh pengetahuan lebih banyak dan berprestasi. Dikutip dari buku Sisi Lain Kartini, ia menceritakan dirinya tengah belajar pemikiran pejuang wanita dari India Pundita Ramambai pada temannya, Nyonya Nelly Van Kol.

"Tentang putri Hindia yang gagah berani ini telah banyak kami dengar. Saya masih bersekolah, ketika pertama kali mendengar tentang perempuan yang berani itu. Aduhai? Saya masih ingat betul: saya masih sangat muda, anak berumur 10 atau 11 tahun, ketika dengan semangat menyala-nyala saya membaca dia di surat kabar. Saya gemetar karena gembira: jadi bukan hanya untuk perempuan berkulit putih saja ada kemungkinan untuk merebut kehidupan bebas bagi dirinya! Perempuan Hindia berkulit hitam, jika bisa membebaskan, memerdekakan diri."

Namun setelah lulus ELS, Kartini dilarang ayahnya melanjutkan pendidikan di HBS Semarang. Saat itu, tradisi bangsawan mewajibkan anak usia 12 tahun yang sudah dianggap dewasa untuk dipingit. Saat dipingit, anak perempuan tidak boleh keluar rumah, termasuk ke sekolah, karena harus menyiapkan diri untuk menikah dan menjadi ibu rumah tangga.

Karena itu, Kartini juga tidak mendapat izin untuk lanjut sekolah di Belanda seperti tawaran orangtua Letsy, temannya. Ia lalu dipaksa belajar aturan putri bangsawan, seperti berbicara dengan suara halus dan lirih, berjalan setapak dan menundukkan kepala jika anggota keluarga yang lebih tua lewat.

Kartini yang dipingit mengesampingkan kekecewaannya tidak lanjut sekolah dengan membaca dan mencatat. Sejumlah catatannya termasuk pandangan hidup yang bisa dicontoh, jiwa dan pemikiran besar, dan perilaku yang baik.

Ia juga berkirim surat pada sahabatnya untuk mempelajari pemikiran baru dan menyampaikan keinginannya tentang dunia pendidikan di daerahnya. Terjemahan surat-surat Kartini kelak membuka bahwa dirinya punya berbagai gagasan untuk mengangkat derajat kaum perempuan bumiputera di dunia internasional lewat pendidikan.

Kartini pun menikah pada 8 November 1903 dengan Bupati Rembang. Kesehatannya melemah setelah melahirkan anaknya pada 13 September 1903. Pada 17 September 1903, Kartini wafat dalam usia 25 tahun.

Kendati tak melanjutkan pendidikan seperti harapan semula, sebelum wafat, Kartini mencoba berbagai langkah agar dirinya dan perempuan di sekitar bisa maju dengan pendidikan.

Selanjutnya perjuangan R.A. Kartini untuk pendidikan>>>

E. Kontroversi RA Kartini

Surat- surat yang dibuat Kartini paling banyak dikirim pada Sahabatnya, Nyonya Rose Abendanon Mandri,istri dari J.H. Abendanon. J.H. Abendanon, adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Belanda. Dialah yang memiliki peranan penting dalam penerbitan buku-buku Kartini.

Usia Kartini saat rajin berkirim surat itu 23 tahun. Kartini selalu bersemangat menceritakan apa yang dilihat, dirasa dan dipikirkannya. Ia memiliki kesempatan untuk duduk di bangku sekolah membuat pemikiran Kartini luas dan terbuka. Kartini menuliskan semua yang dipikirkan dan dirasakannya, termasuk membahas soal keintiman dan ras tiongkok.

Orang Tiongkok saat itu hanya dijadikan tameng oleh Belanda menghadapi amarah pribumi dan juga dijadikan kambing hitam atas birokrasi yang kacau. Karena dianggap membahayakan, beberapa surat tentang suku Tiongkok akhirnya disensor oleh Abendanon.

Selain itu, Kartini juga membahas kebijakan pemerintahan Belanda dalam menguasai perdagangan candu di Jawa. Kartini juga mengeluarkan kritikan pedas atas kepindahan seorang residen dari Jepara. Surat inipun kembali disensor oleh Abendanon karena dianggap tak layak untuk dibuka. Buku Kartini dicetak pada masa politik Etis mulai bergulir, sementara Abendanon dikenal sebagai pendukung politik etis. Banyak yang menduga adanya rekayasa Abendanon dalam menyortir surat-surat Kartini.

Namun , Pada 1987,surat – surat lengkap kartini diterbitkan oleh Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) dengan judul ‘Kartini: Brieven aan Mevrouw R.M. Abendanon-Mandri en Haar Echtgenoot’ Ternyata Total ada sekitar 150 korespondensi.

Pada tahun 1989,terjemahan dalam Bahasa Indonesianya terbit. Dalam buku itu terbongkarlah kenyataan bahwa Abendanon telah menyortir surat-surat sebagai “sensitif” yang menurutnya tak layak untuk dilihat.

Bahkan beberapa surat juga sengaja di sobek di bagian tertentu, khususnya surat-surat yang dianggapnya terlalu pedas atau menyudutkan pemerintahan Belanda. Sementara surat-surat yang menurutnya aman saja yang diterbitkan.

Tentu saja hal itu sangat disayangkan, karena kenyataannya surat -surat Kartini bukan hanya karena membahas dalam feminisme, seperti yang selama ini diketahui banyak orang.Selain kontroversi surat-surat, penetapan Kartini sebagai Pahlawan juga sempat mendapat pertentangan.

Banyak yang merasa Terlalu berlebihan jika Kartini dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Pertama, Kartini hanya berjuang di daerah Rembang dan Jepara dan yang kedua, Kartini tak pernah berperang dengan mengangkat senjata seperti Cut Nyak Dien atau Christina Martha Tiahahu yang ikut turun ke medan perang.

Sikap pro poligami Kartini juga rasanya bertentangan dengan pemikirannya sebagai penggiat emansipasi wanita.Namun pihak yang pro Kartini berhasil meyakinkan bahwa perjuangan Kartini dalam menyuarakan persamaan derajat wanita merupakan perjuangan Nasional.

Yang tak kalah kontroversi adalah kematian Kartini. Seperti yang sudah kita ketahui, Kartini menghembuskan nafas setelah melahirkan.Hal ini cukup mengherankan mengingat konon Kartini sehat selama hamil dan setelah melahirkan.

Namun anehnya, di hari ke empat, Kartini menutup mata. Ada pihak yang menduga Belanda membunuh Kartini lewat tangan Dr van Ravesteyn.

Pemikiran Kartini yang terbilang berani memojokkan Belanda, dan kartini dianggap berbahaya. Beredar cerita bahwa di hari Kartini meninggal Dr van Ravesteyn mengajaknya minum anggur sebagai tanda perpisahan.

Tak lama setelah itu, Kartini hilang kesadaran dan tak lama meregang nyawa.Menurut pandangan dokter di masa kini, kondisi yang terjadi pada Kartini adalah preeklampsia atau tekanan darah tinggi pada ibu hamil. Meskipun hal itu juga belum bisa dibuktikan dengan catatan kematian Kartini entah ada di mana.

Pihak keluarga tak ada yang berusaha mencari penyebab kematian Kartini dan menerima ini sebagai takdir.

F. Peringatan Hari kartini

Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Bukan hanya itu, Presiden Soekarno menetapkan hari lahir RA Kartini pada tanggal 21 April untuk diperingati sebagai Hari Kartini hingga sekarang.