Lebih Baik Cbr Atau R15
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Para ulama sejak dini telah mengenal istilah thariqatul jam'i, yaitu metode untuk menggabung dan mencari titik-titik kesesuaian antara dalil-dalil yang sekilas terasa bertentangan.
Fenomena dalil-dalil yang sekilas terasa bertentangan bukan hal yang asing lagi. Jangankah antara Al-Quran dengan Hadits, bahkan antara sesama ayat Al-Quran sendiri pun kalau dipahami dengan zahirnya saja, begitu banyak ketidak-sesuaiannya.
Mencari titik-titik persamaan dari dua dalil yang sekilas bertentangan bisa dengan berbagai cara, misalnya lewat nasikh mansukh, atau lewat dalil 'aam dan khaash, atau lewat cara-cara lainnya. Pembahasan masalah ini akan lebih tuntas manakala kita mendalami ilmu ushul fiqih. Dan alhamdulillah, para ulama syariah selalu dibekali dengan ilmu yang satu ini, sehingga tidak mungkin muncul kerancuan dalam menarik kesimpulan hukum dalam syariat.
Mestinya para ulama hadits (muhadditsin) juga dibekali dengan ilmu ushul fiqih juga, sebab kalau sekedar meneliti keshahihan suatu hadits, tanpa dibekali dengan metodologi istimbath hukum yang mantap, hasilnya masih sangat mentah. Peran para muhaddits yang tidak menguasai ilmu ushul fiqih jadi sangat terbatas, yaitu mengeluarkan hasil penelitian derajat keshahihan suatu sanad saja. Tetapi tidak bisa sampai kepada kesimpulan akhir dalam masalah hukum seperti wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Sedemikian pentingnya ilmu ushul fiqih ini, sehingga orang awam yang mencoba menelusuri sendiri dalil-dalil Quran dan sunnah dipastikan akan mengalami kebingungan sendiri nantinya. Tentu kita tidak ingin mengalami hal itu bukan?
Muslim Ideal: Yang Kaya atau Yang Miskin?
Kaya atau miskin bukanlah sebuah dosa yang harus dihindari. Ketika Allah SWT meluaskan rizqi seseorang, bukanlah sebuah jebakan untuk menyeretkan ke dalam neraka. Dan ketika Allah menyempitkan rizqi hamba-Nya, belum tentu menjadi jaminan atas surga-Nya.
Semua akan kembali kepada bagaimana menyikapinya. Rasa kurang tepat kalau dikatakan bahwa muslim ideal itu adalah yang miskin saja atau yang kaya saja. Yang ideal adalah yang miskin tapi bersabar dan yang kaya tapi banyak berinfaq serta syukur. Keduanya telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah dan para shahabatnya.
Abu Bakar as-shiddiq, Utsman bin Al-Affan, Abdurrahman bin Al-Auf radhiwallu anhum adalah tipe-tipe shahabat nabi yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Bahkan Umar bin Al-Khattab pun pernah diberikan kekayaan yang luar biasa berlimpah. Dan yang paling kaya di antara semua itu adalah Rasulullah SAW sendiri.
Siapa bilang Rasulullah SAW itu miskin dan tidak punya penghasilan. Bahkan dibandingkan dengan saudagar terkaya di Madinah, pemasukan Rasulullah SAW jauh melebihi. Memangnya apa sih profesi Rasulullah SAW? Berdagang?
Tidak, beliau SAW bukan pedagang. Dahulu sewaktu belum diangkat menjadi nabi, memang beliau pernah menekuni profesi sebagai pedagang. Tapi profesi itu sudah tidak lagi beliau lakoni setelah itu, terutama setelah beliau diangkat jadi nabi.
Pemasukan beliau adalah dari ghanimah (harta rampasan perang), di mana oleh Allah SWT beliau diberikan hak istimewa atas setiap harta rampasan perang. Bila suatu kota atau negeri ditaklukkan oleh kaum muslimin, maka beliau punya hak 20% dari pampasan perang. Hak ini menjadikan Rasulullah SAW sebagai orang dengan penghasilan terbesar di Madinah. Rampasan perang itu bukan harta yang sedikit, sebab terkait dengan semua aset-aset yang ada di negeri yang ditaklukkan.
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Anfal: 41)
Namun semua hak yang beliau terima itu tidak menjadikan beliau hidup di istana megah, atau mengoleksi semua baju termahal dunia, atau makan makanan terlezat di dunia. Semua tidak terjadi pada beliau, sebab semua harta yang beliau dapatkan hanya beliau kembalikan lagi buat para fakir miskin dan orang-orang tak punya yang membutuhkan.
Kehidupan pribadi beliau sendiri terlalu bersahaja, tidur hanya beralas tikar kasar yang kalau beliau bangun, maka masih tersisa bekas cekatannya di kulit beliau. Bahkan pernah 3 bulan dapur rumah beliau tidak mengepulkan asap.
Demikian juga shahabatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, apa sih yang beliau tidak punya dari harta kekayaan dunia. Beliau seorang saudagar besar yang kalau mau menumpuk kekayaan, tidak akan habis dimakan tujuh turunan. Tetapi seluruh harta yang beliau miliki diinfaqkan ke baitul muslimin. Ketika ditanya apa yang disisakan untuk anak dan isteri, beliau hanya menjawab bahwa untuk anak dan isteri adalah Allah SWT. Subhanallah!
Perilaku gemar infaq ini sampai membuat Umar bin Al-Khattab ra iri dengan Abu Bakar. Beliau baru mampu menginfaqkan 50% dari total hartanya saja. Bahkan pernah beliau mendapatkan hak eksklusif atas perkebunan kurma di Khaibar. Kalau dinilai nominal, maka hak itu akan membuatnya sangat kayaraya dan bisa membangun istana termegah di muka bumi dengan biaya pribadi, tetapi beliau justru mewakafkannya di jalan Allah. Padahal perkebunan kurma itu selalu menghasilkan panen tiap tahun sepanjang masa.
Belum lagi Utsman bin Al-Affan ra. yang kemaruk untuk bershadaqah, tidak boleh melihat orang sudah, kepinginnya langsung membantu dengan hartanya yang sangat berlimpah.
Pendeknya, Islam sangat tidak mengharamkan kekayaan, bahkan nabi dan para shahabat boleh dibilang termasuk jajaran milyarder dengan usaha dan jerih payah mereka, tetapi yang menarik kita kaji adalah sikap mereka setelah menjadi milyarder itu sendiri. Tidak ada keinginan untuk bermewah-mewah, apalagi pamer kekayaan. Justru semuanya malah dinafkahkan ke baitul-mal muslimin.
Barangkali inilah yang sulit kita contoh di masa sekarang. Untuk sekedar jadi kaya, bikin usaha, punya beberapa perusahaan multi nasional, mungkin kita bisa mencapainya. Tetapi bisakah kita tetap berada di jalan para shahabat itu ketika kekayaan sudah di tangan?
Tentu ceritanya akan lain bila kita sendiri yang mengalaminya. Sehingga banyak orang yang terjebak dengan situasi ini, lalu lebih memilih hidup miskin saja. Tentu ini masalah pilihan hidup dan selera masing-masing individu.
Yang penting, Islam sama sekali tidak mengharamkan umatnya jadi orang kaya, sebab nabi dan para shahabat pun banyak yang kaya. Tapi kalau tidak mampu jadi orang kaya, hidup jadi orang miskin saja pun tidak apa-apa. Tapi biar pun jadi orang miskin, jangan dikira masalah sudah selesai. Selamanyawa masih dikandung badan, selama itu pula ujian dan cobaan masih harus kita hadapi.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kaya atau miskin bukanlah sebuah dosa yang harus dihindari. Ketika Allah SWT meluaskan rezeki seseorang, bukanlah sebuah jebakan untuk menyeretkan ke dalam neraka. Sebaliknya, ketika Allah SWT menyempitkan rezeki hamba-Nya, belum tentu menjadi jaminan atas surga-Nya. Semua akan kembali kepada bagaimana menyikapinya.
Rasanya kurang tepat kalau dikatakan bahwa Muslim ideal itu adalah yang miskin saja atau yang kaya saja. Demikian dijelaskan KH Ahmad Sarwat Lc dalam laman Rumah Fiqih.
KH Ahmad Sarwat menjelaskan, yang ideal adalah yang miskin tapi bersabar, dan yang kaya tapi banyak bersedekah serta bersyukur. Keduanya telah dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Abu Bakar As-Shiddiq, Utsman bin Al-Affan, Abdurrahman bin Al-Auf Radhiwallu anhum adalah tipe-tipe sahabat Nabi SAW yang diluaskan rezekinya oleh Allah SWT. Bahkan Umar bin Al-Khattab pun pernah diberikan kekayaan yang luar biasa berlimpah. Namun, yang paling kaya di antara semua itu adalah Rasulullah SAW sendiri.
Siapa bilang Rasulullah SAW itu miskin dan tidak punya penghasilan? Bahkan dibandingkan dengan saudagar terkaya di Madinah, pemasukan Rasulullah SAW jauh melebihinya.
Memangnya apa sih profesi Nabi Muhammad SAW? Nabi Muhammad SAW bukan pedagang. Dahulu sewaktu belum diangkat menjadi Nabi, memang beliau pernah menekuni profesi sebagai pedagang. Tapi profesi itu sudah tidak lagi beliau jalani setelah itu, terutama setelah beliau diangkat jadi Nabi.
Pemasukan Nabi Muhammad SAW adalah dari ghanimah (harta rampasan perang), di mana oleh Allah SWT beliau diberikan hak istimewa atas setiap harta rampasan perang. Jika suatu kota atau negeri ditaklukkan oleh kaum Muslimin, maka beliau punya hak 20 persen dari pampasan perang. Hak ini menjadikan Rasulullah SAW sebagai orang dengan penghasilan terbesar di Madinah. Rampasan perang itu bukan harta yang sedikit, sebab terkait dengan semua aset-aset yang ada di negeri yang ditaklukkan.
Masih bingung dengan istilah sarjana terapan? Jenjang pendidikan diploma ini punya gelar yang mirip dengan program sarjana atau S1. Nah, apa itu sarjana terapan? Lalu, apa beda sarjana terapan dan sarjana?
Sarjana terapan adalah jenjang pendidikan diploma yang setara dengan jenjang sarjana (S1). Nama lain jenjang pendidikan ini adalah Diploma 4 atau D4. Sarjana terapan adalah jenjang pendidikan vokasi. Sementara sarjana adalah jenjang pendidikan akademik.
Sarjana terapan dikatakan setara dengan sarjana karena bobot keilmuan program D4 setara dengan jenjang S1. Adapun perbedaannya hanya pada perbandingan bobot keilmuannya, seperti dikutip dari akun Instagram resmi Direktorat Pendidikan Tinggi Vokasi dan Profesi, Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, apakah sarjana terapan atau lulusan D4 bisa lanjut kuliah ke jenjang S2 langsung, atau harus ambil kuliah S1 dulu?
Rupanya, karena bobot perkuliahannya sama, mahasiswa jenjang D4 tidak perlu lagi mengambil jenjang sarjana kalau mau lanjut kuliah ke tingkat magister atau S2, khususnya magister terapan. Bobot perkuliahan D4 dan S1 yaitu 144 SKS.
Adapun kuliah jenjang D4 mengedepannya sisi praktik ketimbang teori dibandingkan dengan kuliah jenjang S1. Di jenjang S2 terapan, kamu akan mendapat praktik-praktik yang mendalam sesuai jurusan yang kamu pilih.
Nah, lebih baik kuliah kuliah D4 atau S1? Baik program pendidikan D4 ataupun S1 sama baiknya, sesuai kebutuhan kamu. Jika kamu ingin fokus mencari pekerjaan di bidan keahlian dan praktik, maka disarankan untuk memilih kuliah jenjang D4.
Sebab, mahasiswa jenjang D4 akan belajar kemampuan praktik yang dibutuhkan di dunia kerja, sekaligus pengetahuan lebih lengkap dibandingkan dengan kuliah jenjang diploma di bawah D4, seperti D3, D2, dan D1. Kecakapan ini merespons kebutuhan perusahaan-perusahaan akan individu dengan keahlian praktik.
Sementara kalau kamu ingin jadi seorang ahli dalam suatu bidang keilmuan, kamu disarankan memilih jenjang S1. Sebab, di pendidikan jenjang S1, kamu akan dibentuk sebagai seorang akademisi dengan berbagai kemampuan mengolah dan mengaplikasikan teori bidang ilmu pengetahuan.
Ada banyak jurusan perkuliahan yang menyediakan perkuliahan jenjang D4. Rata-rata jurusan tersebut terkait dengan kebutuhan praktik lapangan dan sangat dibutuhkan di dunia pekerjaan. Jurusan-jurusan yang menyediakan jenjang D4 di antaranya jurusan akuntansi, teknik sipil, teknik desain komunikasi visual, teknik informatika dan komputer, dan administrasi.
Adapun setiap perguruan tinggi yang menyelenggarakan sekolah vokasi biasanya menyediakan program kuliah jenjang D4. Beberapa perguruan tinggi Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan vokasi D4 di antaranya Universitas Indonesia (UI), Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Padjajaran (Unpad), hingga Universitas Airlangga (Unair). Informasi terkait jurusan dan kampus yang sesuai minatmu bisa kamu cari di berbagai media dan website kampus.
Pendidikan vokasi dan akademik sama baiknya, tinggal merenungkan mana yang lebih cocok dipilih untuk mewujudkan impian kamu di masa depan. Nah, pilih kuliah D4 atau S1 nih detikers?